Selasa, 03 Mei 2011

anatomi cavum nasi

Nama : St. Ulfa Fauzia P.E.I
2010730162
Cavum Nasi
Pintu masuk cavum nasi disebut nares anteriores atau nosetril sedangkan batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana (nares posteriores).
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os maxilla dan os palatinum sedangkan atapnya merupakan celah sempit yang dibentuk oleh sebagian os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfactorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau yaitu nervus olfactorius. N. olfactorius ini melewati lamina cribrosa os frontale dan ke dalam bulbus olfactorius nervus cranialis I.

Cavitas nasi yang dilapisi membran mukosa kecuali vestibulum nasi yang dilapisi oleh kulit. Bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung termasuk area respiratoria, dan bagian sepertiga superior mukosa hidung adalah area olfactoria. Udara yang melewati area respiratoria  
Akan dihangatkan dan dilembabkan sebelum memasuki saluran napas yang lebih lanjut ke paru-paru. Area respiratoria berisi organum olfactorium perifer, dengan mendengus udara tersedot ke daerah ini.
Cavum nasi mempunyai fungsi agar tetap menyediakan saluran aliran udara walaupun mulut terisi oleh makanan. Di dalam cavum nasi ini, udara akan dibersihkan. Vestibulum yang dilapisi silia akan menangkap partikel-partikel besar yang terkandung dalam udara. Septum nasi dan concha nasalis berperan untuk memperluas permukaan dari cavum nasi dan membuat aliran udara di dalamnya turbulen yang makin meningkatkan kontak udara dengan membran mukosa yang melapisinya.membran mukosa ini dilapisi epitel kolumner berlapis bersilia dan sel goblet yang menghasilkan sekresi mukus. Mukus ini akan menjebak partikel debris dan menyapunya ke pharynx, dimana kemudian akan dieliminasi di sistem digestivus.






Cavum nasi juga berfungsi sebagai penghangat udara. Kelembaban didapat dari epithelium mukosa dan kelebihan air mata yang dialirkan ke cavum nasi melalui ductus lacrimalis manambah kelembaban udara sendiri. Udara yang hangat akan mencegah kerusakan saluran pernapasan dibanding udara yang dingin.
Epitel olfactorius sendiri merupakan organ sensorik sebagai penghidu dan terletak pada bagian paling superior dari cavum nasi. Cavum nasi dan sinus-sinus paranasal juga turut berperan sebagai ruang resonansi saat berbicara.


Atap cavitas nasi berbentuk lengkung  dan sempit kecuali pada ujungnya disebelah posterior, disini dapat dibedakan 3 bagian(frontonasal, etmoidial dan stefnoidal) yang dinamakan sesuai dengan nama tulang pembatasnya.
Dasar cavitas nasi yang lebih luas daripada atapnya dibentuk oleh procesus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini.
Dinding medial cavitas nasi dibentuk oleh septum nasi . dinding lateral cavitas nasi berwujud tidak rata karena adanya tiga tonjolan yang berbentuk gulungan yakni concha nasalis. Concha nasalis superior, concha nasalis media, concha nasalis inferior membagi cavitas nasi menjadi empat lorong: meatus nasalis superior, meatus naslis medianus, meatus nasalis inferior dan hiatus semiulnaris.


Vaskularisasi dan persyarafan
Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui cabang arteria sphenopalatina, arteria etmoidalis posterior dan arteria paltina labialis superior, rami lateralis arteriae facialis. Plexus venous menyalurkan darah kembali ke dalam vena spenopaltina, vena facialis, dan vena optahlmica. Persyarafan dua pertiga bagian inferior membran  mukosa hidung terutama terjadi melalui nervus nasopaltinus, cabang nervus cranialis. Bagian anterior dipersyarafi oleh nervus ethmoidalis anterior cabang nervus nasociliaris yang merupakan cabang nervus cranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi memperoleh persyarafan melalui rami nasles nervi maxilaris, nervus paltinus major dan nervus ethmoidalis anterior.
Sinus paranasales adalah perluasan bagian respiratorik cavitas nasi yang berisi udara, ke dalam ossa cranii berikut : os. Frontale , os. Spenoidale dan maxilla.
vasccav2
Sinus frontalis
a. Muara : meatus nasi media
b. Inervasi : nervus supraorbital
c. Vaskularisasi : arteri ethmoidalis anterior

2. Sinus maxillaris
a. Muara : meatus nasi media
b. Inervasi : nervus infraorbital
c. Vaskularisasi : arteri infraorbital

3. Cellulae ethmoidalis
a. Muara :
- Cellulae ethmoidalis anterior dan media : meatus nasi media
- Cellulae ethmoidalis posterior : meatus nasi superior
b. Inervasi : nervus ethmoidalis anterior et posterior
c. Vaskularisasi : arteri ethmoidalis anterior

4. Sinus sphenoidalis
a. Muara : recessus sphenoethmoidalis
b. Inervasi : nervus ethmoidalis posterior
c. Vaskularisasi : arteri ethmoidalis posterior


Moore, keith l, Anne , et al. 2002. Anatomi klinis dasar. Jakarta : Hipokrates.


Rabu, 27 April 2011

kamis 28 april

ya Allah knapa ya gw takut banget akhr2 ini , takut nilai gw yang muskulo kmrn jelek .. . kmrn bner2 nge blank ga tau knpa, , ,
deg2n ya allah. . .

Senin, 25 April 2011

osteoporosis

Nama : St. Ulfa Fauzia Putriani Eka Irawan
2010730162
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. NIH (national Institute of health) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Osteoporosis  mengacu pada berkurangnya massa tulang pada proses pergantian tulang yang konstan. Keadaan ini terlihat pada manula pria dan wanita yang lebih menonjol pada wanita pasca menopause. . Keadaan ini mengakibatkan pada beberapa individu baik laki-laki maupun perempuan menimbulkan gejala, disability, dan keterbatasan kualitas hidup. Beberapa tahun terakhir perhatian terhadap osteoporosis makin meningkat terutama akibat meningkatnya harapan hidup yang menyebabkan manula makin banyak serta pemakaian obat-obat berjangka lama yang berefek samping osteoporosis makin meningkat.

Osteoporosis dibagi 2 yaitu osteoporosis primer(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer  adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan ossteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Osteoporosis primer dibagi menjadi dua yaitu osteoporosis tipe I dan osteoprosis tipe II.
Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause yang disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause.osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabknan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Hormon estrogen juga menonjol.
. Dari beberapa penyebab osteoporosis sekunder, steroid ( glukokortikoid/ GK ) merupakan penyebab tersering ditemukan, berkaitan dengan penggunaan GK dalam jangka panjang dalam terapi seperti asma bronkhiale, penyakit paru obstruksi, penyakit inflamasi, penyakit endokrin, keganasan bahkan postransplantasipun turut menyumbang peningkatan insidensi osteoporosis sekunder. Penelitian menunjukkan banyak penderita dengan terapi GK tidak mendapat upaya pencegahan osteoporosis, karena tidak adanya informasi tentang manfaat dan pentingnya pencegahan dalam strategi pengobatan. Oleh sebab itu dalam pengelolaan penyakit penyakit tersebut perlu pertimbangan dan pengamatan yang baik terhadap efek glukokortikoid serta upaya pencegahan osteoporosis.

Etiologi
Pada hakekatnya faktor genetik menentukan massa puncak tulang yang dicapai pada usia dewasa muda. Sesudah itu perlambatan pembentukan dan fungsi osteoblas yang berhubungan dengan perlambatan usia, menurunnya aktivitas biologis faktor-faktor pertumbuhan yang teriikat pada matriks dan menurunnya aktivitas fisik yang mengakibatkan osteoporosis tipe II(senilis). Pada osteoporosis pasca menopause juga terjadi peningkatan osteoklas yang  ditimbulkan oleh penurunan kadar estrogen serum. Berkurangnya kadar estrogen mengakibatkan peningkatan sekresi interleukin1 serta 6 (IL1 dan IL6) dan tumor nekrosis factor(TNF) oleh sel-sel monosit darah. Sitokin ini merupakan stimulator poten yang merangsang rekrutmen dan aktivitas osteoklas lewat peningkatan kadar RANK serta RANKL dan penurunan  kadar osteoprotegrin(OPG). Aktivitas kompensatorik osteoblas akan terjadi tetapi tidak mampu mengikuti kecepatan hilangnya tulang.

Epidemiologi
Pada tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%
Gambaran klinis
Osteoporosis menyebabkan  rasa nyeri akibat mikrofraktur. Keadaan ini mengakibatkan penurunan  tinggi badan dan berkurangnya colummna vetebralis, khususnya dengan prediposisi terjadinya fraktur pada colum femoris, pergelangan tangan serta vetebra karena sebab berikut ini:
keadaan ini baru menimbulkan gejala setelah kerapuhan rangka berlanjut.
Faktor risiko
Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur. Insidens fraktur pergelangan tangan  meningkat secar bermakna setelah umur 50-an, fraktur vetebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah umur 70-an. Pada perempuan risiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki pad umur yang sama dan lokasi fraktur tertentu. Karena harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandungkan laki-lak, maka prevalansi fraktur osteoporotik akan menjadi jauh lebih tinggi daripada laki-laki.
Densitas massa tulang juga berhubungan dengan risiko fraktur. Setiap  penurunan densitas massa tulang 1SD berhubungan dengan peningktan massa fraktur 1,5-3,0. Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan skor T-score-1 akan memiliki risiko fraktur lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang berusia 50 tahun. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang berumur 50 tahun lebih besar  diabndingkan wanita berumur 80 tahun , karena harapan hidup wanita berumur 50 tahun lebih besar. Perbedaan ras dan geografik juga berhubungan dengan risiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tinggi insidensnya pada orang kulit putih dan lebih rendah pada orang kulit hitam di US dan afrika selatan.
Sampai saat ini telah diketahui berbagi risisko fraktur osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang. Misalnya risiko terjatuh pada, gangguan penglihatan imobilisasi dan gangguan sedatif akan menjadi risiko fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul, walupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak menyadarinya. Penelitian meta analisis berbasis populasi secara kohort mendapatkan berbagai  faktor risiko fraktur osteoporotik yang tidak tergantung pada BMD. Yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur, perokok, peminum alkohol berat dan arthritis reumatoid.
Glukokortikoid merupakan penyeabab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak. Glukortikoid akan menyebabkan gangguan absoropsi kalsium di usus dan peningkatan eksresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan  hipokalsemia , hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatkan osteoklas. Selain itu gukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga kan meningkat kerjanya. Tehadap osteoblas, glukortikoid aan menghambat kerjanya sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang osteoblas , maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta analisis didapatkan bahwa  risiko fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai -1 dan BMD serial harus dilkukan tiap 6bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti osteoporosis primer.peminum alkohol lebih dari 2 unit/ hari juga merupakan  faktor risiko terjadinya fraktur osteoporosik dan bersifat dase dependent. Demikian juga perokok yang merupakan faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen terhadap nilai BMD.
Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi dengan glukortikoid jangka panjang. Pada arthritis rematoisd, risiko fraktur osteoporosik tidak tergantung pada penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD.



Rabu, 23 Maret 2011

osteoartritis

Nama: St. Ulfa Fauzia Putriani Eka Irawan
Nim : 2010730162
Tutor : dr. Yusnam Syarief , PAK
OSTEOARTRTIS
Osteoartritis atau penyakit sendi degeneratif (DJD), degenerative Joint disease. Ditandai oleh kemunduran progresif dan penguraian kartilago sendi, terutama persendian yang menyangga berat badan (weight bearing joints) keadaan ini menimbulkan penebalan tulang yang berlebihan yaitu osteofit (bone spurs) di sekitar bagian tepi sendi. Penyakit sendi degenaratrif ini ;juga menyebabkan benjolan tulang pada bagian tepi artikulasio interfalangeal distal sehingga terbentuk nodus heberden subkutan yang tidak terasa nyeri ketika ditekan. Penyebabnya tidak diketahui secara pasti tetapi besar kemungkinannya keadaan ini memiliki korelasi dengan perubahan metabolik dan biokimiawi.
            Penyakit sendi degeneratif terjadi dengan dua pola klinis :
1.      Penyakit sendi degeneratif primer ter jadi secara de novo  terutama pada laki-laki dalam usia pertengahan. Dan baru kemudian terjadi pada wanita. Frekuensinya meningkat bersamaan dengan usia hingga mencapai angka 80% pada mereka yang berusia lebis dari 70 tahun. Korelasi antara osteoartritis dan pertamabahan usia tidak linear, angka prevalansi meningkat semakin cepat ketika usia melebihi 50 tahun.
2.      Penyakit sendi degeneratif sekunder timbul pada segala usia dan mengenai sendi yang pernah mengalami jejas atau kelaianan kongenital.
Korelasi antara usia dan jejas sebelumnya menunjukkan bahwa proses wear and tear (ausdan rusak) turut menyebabkan terjadinya penyakit ini. Sendi bahu dan siku sering terkena pada pemain baseball sementara penyakit sendi lutut pada pemain bola basket. Biasanya sendi lutut dan tangan pada wanita serta sendi pinggul pada laki-laki lebih sering terkena.
epidemiologi
Prevalensi osteoartritis secara jelas meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Kondisi ini jarang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Usia, jenis kelamin, pekerjaan dan kegemaran, ras, dan hereditas seluruhnya bisa berperan dalam manifestasi klinis osteoartritis.2 
Di Amerika Serikat dan Eropa, hampir semua orang mengalami degenerasi sendi setelah usia 40 tahun. Jumlah penderita osteoartritis setiap tahunnya mencapai 16 juta orang, wanita 2 kali lebih banyak menderita osteoartritis dibanding pria.3
Data di Indonesia yang didapat dari Malang dimana prevalensinya sekitar 10-13,5%, sedang di pedesaan Jawa tengah prevalensi osteoartritis klinis sekitar 5,1%. Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan 43,8% (1991-1994)– 35% (2000) adalah osteoartritis.


Etiologi

Etiologi pasti dari osteoartritis sampai saat ini tidak diketahu1, akan tetapi beberapa faktor predisposisi terjadinya osteoartritis dipengaruhi oleh:
- Umur
umur atau faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalansi dan beratnya osteoartritis makin meningkat dengan pertambahan umur. Umumnya ditemukan pada usia lanjut .

- Jenis Kelamin
Kelainan ini ditemukan baik pada pria maupun wanita (OA lutut dan OA banyak sendi), dimana osteoartritis primer lebih banyak ditemuakn pada wanita pasca menopause, sedangkan osteoartritis sekunder lebih banyak pada laki-laki(OA paha, pergelangan tangan dan leher).

- suku bangsa
prevalansi dan pola terkenanya Lebih sering pada orang Asia khususnya China, Eropa dan Amerika daripada kulit hitam.

- genetika
Misalnya pada ibu dari seorang wanita OA pad sendi-sendi interfalang distal, dan anak-anaknya cendrung 3 kali lebih sering . ini dikarenakan adenya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur tulang rawan sendi sperti kolagen tipe XI  dan XII, protein pengikat atau proteoglikan.

- Faktor metabolik/endokrin dan obesitass
Pada penderita obesitas, hipertensi, hiperurisemia dan diabetes lebih rentan

PATOGENESIS
Patogenesisnya tidak diketahui tetapi jelas berhubungan dengan usia dan jejas, penyebab penyakit ini tampaknya bersifat multifaktorial.
·         Bersamaan dengan pertambahan usia, kapasitas kondrosit untuk mempertahankan matriks kartilago mengalami perlambatan
·         Perubahan yang terkait usia meliputi perubahan kandungan proteoglikan dan kolagen di dalam kartilago sendi, pada akhirnya akan terjadi terjadi penurunan kelenturan sendi dan peningkatan kerentanannya terhadap jejas.
·         Dibawah tekanan jejas , kondrosit akan menghasilkan IL1 yang memulai proses penguraian matriks.
·         Zat-zat mediator sekunder seperti TNF-α dan transforming growth factorβ meningkatkan pelepasan enzim litik kondrosit sementara sintesis matriks dihambat.

PREDILEKSI
Perubahan struktural paling dini pada osteoartritis adalah pembesaran dan disorganisasi kondrosit di bagian superfisial tulang rawan sendi.  Adanya predileksi OA pada sendi tertentu :carpometacarpal I, metatarsophalangealI, sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Sebagai perbandingan OA siku, pergelangan tangan, glenoh
·         Kelainan biasanya hanya mengenai satu sendi (ologoartikular) atau beberapa sendi
Sendi yang sering terkena adalah sendi panggul, lutut, vetebra lumbal bawah dan servikalis, sendi antarfalang distal jari tangan, sendi carpometacarpal pertama dan sendi tarsometatarsal pertama.
·         Perubahan yang paling dini berupa kehilangan proteoglikan dan penurunan metakromasia pada kartilago sendi yang disertai daerah-daerah  proliferasi kondrosit(kloning) dan peningkatan basofilia matriks.
·         Penipisan , pembentukan fisura, cekungan (pitting) dan serpihan (fflaking) terjadi pada kartilago, yang diikuti oleh celah vertikal yang mengarah ke bawah hingga mengenai tulang subkondrial.
·         Pembentukan sepihan pada kartilago membuat tulang yang berada di bawahnya terpajan(eburnasi). Keadaan ini membuat tulang terlihat seperti gading khususnya ketika gerakan sendi yang kontinu menggosok permukaan tulang tersebut.
·         Farktur subkonrial dan mikrokista biasanya terjadi
·         Sinovia memperlihatkan infiltrat inflamatorik kronik yang ringan (sinovis nonspesifik) dan terjadi metaplasia osteokartilaginosa(joint mice) yang terlepas dalam rongga sendi

GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda osteoartritis muncul sangat perlahan dan biasanya mengenai hanya satu atau beberapa sendi. Sendi yang sering terkena adalah  sendi panggul, lutut, vetebra lumbal bawah dan servikalis, sendi antarfalang distal jari tangan, sendi carpometacarpal pertama dan sendi tarsometatarsal pertama. Sebagian besar pengidap osteoartritis asimtomatik hingga usia 50 tahun meskipun mereka  yang mengidap bentuk sekunder penyakit dapat ,memperlihatkan usia lebih awal. Tetapi sebagian besar pasien mengalami kaku di pagi hari(morning stiffness) pada sendi-sendi yang terkena penyakit ini. Biasanya tidak terdapat rasa panas atau nyeri tekan setempat tetapi sendi yang terkena pesering memperlihatkan kisaran gerak yang terbatas, efusi ringan dan krepitasi. Pengurangan mobilitas yang progresifdan peningkatan rasa nyeri saat menggerakkan sendi akan terjadi tetapi progresivitas ke arah ankilosis tulang tidak terjadi. Bone spurs dan penyempitan rongga sendi akan terlihat pada foto sinar x . tidak ada cara yang diketrahui untuk mencegah dan menghaentikan proses terjadinya penyakit sendi degeneratif.

KOMPLIKASI
Kompilikasi yang umum adalah kaku sendi dan nyeri tumpul yang dalam.
           

DIAGNOSIS OA
Curigai pada manula dengan gejala OA dan lakukan pemeriksaan Xray foto pada sendi yang dikeluhkan, khusus untuk lutut pemeriksaan dilakukan posisi berdiri dan kedua lutut diperiksa untuk pembanding.
Pada foto xray penderita OA kita bisa jumpai adanya osteofit pada pinggir sendi, penyempitan rongga sendi,peningkatan densitas tulang subkhondral, kista pada tulang subkhondral, cairan sendi. Pada pemeriksaan laboratorium penderita OA normal, tapi diperlukan untuk membedakan dengan penyakit lain.
Pada kasus OA dengan cairan sendi berlebihan diperlukan pemeriksaan analisis cairan sendi untuk membedakan dengan OA yang terinfeksi, karena pada OA analisis cairan sendi jernih, kental, sel darah putih < 2000/mL

TERAPI
Pengelolaan osteoartritis berdasarkan atas distribusinya(sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaanya terdiri dari 3 hal:
Terapi non farmakologis:
-          Edukasi atau penerangan
-          Terapu fisik dan rehabilitasi
-          Penurunan berat badan
Terapi farmakologis:
-          Analgesik oral non-opiat
-          Analgesik topikal
-          OAINS(obat anti inflamasi non Steroid)
-          Chondroprotective
-          Steroid intra artikuler
Terapi bedah
-          Malaligment, deformitas lutut Valgus-varus
-          Arthroscopic debridement dan joint lavage
-          Osteotomi
-          Artoplasti sendi total


1.      Terapi non farmakologis
Penerangan
Agar pasien mengetahui seluk beluk tentang penyakitnya, bagimana menjaganya agar tidak bertambah parah
Terapi fisik dan rehabilitasi
Melatih persendiannya agar dapat dipakai dan melatih untuk melindungi sendi yang sakit.
Penurunan berat badan
Berat badan yang berlabihan merupakan faktor yang memperberat penyakit. Oelh karenanya harus dijaga agar tidak berlebihan.
2.      TERAPI FARMAKOLOGIS
a.       Analgesik oral non opiat
Obat untuk mengurangii atau menghilangkan rasa sakit. Banayk sekali obat  yang dijual bebas untuk mengurangi rasa sakit .
Obat analgesik non narkotika digolongkan sebagai berikut :
1. Turunan salisilat, misal : asetosal, salisilamid
2. Turunan p-aminofenol, misal : asetaminofen (Parasetamol)
3. Turunan pirazolon, misal : fenilbutazon, oksibutazon
4. Turunan asam fenilpropionat, misal : ibuprofen, naproksen, ketoprofen
5. Turunan indol, misal : indometacin
6. Turunan antranilat, misal : asam mefenamat, meklofenamat
7. Turunan oksikam, misal : piroksikam

b.      Analgesik topikal
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan di pasaran  dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba dengan cara ini sebelum memakai obat per-oral lainnya.
c.       Obat Anti Inflamasi Non Steroid(OAINS)
OAINS mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. oleh karena itu pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat jenis ini harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang sederhana  dan efek sampingya minimal .
Analgesik-antiinflamasi dapat dibagi menjadi:
1.     Asam karboksilat
a.     Asam asetat: Derivat asam fenilasetat: fenklofenak, diklofenak
b.     Derivat asam salisilat: metil salisilat
c.     Derivat asam propionat: ketoprofen, ibuprofen, naproksen
d.     Derivat asam fenamat: asam mefenamat, meklofenamat
2.     Asam enolat
a.     Derivat pirazolon: fenilbutazon, oksifenazon
b.     Derivat oksikam: piroksikam, tenoksikam




d.      Chondroprotective Agent
Adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaiakn (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Osteoartritis Drugs (SAAODs)
Atau Disease Modyfying Anti Osteoartritis Drugs(DMAODs). Sampai saat ini yang  termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam arakhidonat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxide desmutase dan sebagainya

TERAPI BEDAH
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologi s tidak berhasil  untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivita ssehari-hari.

Referensi :
Kumar, robbin et al. 2003. Buku Ajar Patologi ed.7. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.
Robbins&cotran. 2008. Buku saku Dasar Patolgis Penyakit. Jakarta : penerbit buku
               kedokteran EGC
Aru, Bambang, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna publishing.








Jumat, 18 Maret 2011

penyebab radang kronik (patologi)

Penyebab radang kronik


Radang kronik dapat bersifat primer, tetapi ada kalanya merupakan kelanjutan dari radang akut. Pada radang kronik primer, beberapa keadaan yang dapat menjadi etiologi adalah:

1. Infeksi virus

Infeksi intrasel apapun secara khusus memerlukan limfosit dan makrofag untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi.

2. Infeksi mikroba persisten

Pajanan mikroba yang patogenisitasnya lemah namun berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan hipersensitivitas lambat yang berpuncak pada reaksi granulomatosa (salah satu contoh radang kronik). Contohnya pada infeksi Treponema pallidum.

3. Pajanan yang lama terhadap agen yang berpotensi toksik

Agen-agen asing dapat menyebabkan radang kronik apabila terpajan dalam jangka waktu yang lama. Agen tersebut dapat berupa agen endogen (seperti jaringan adiposa yang nekrotik, kristal asam urat, tulang) dan dapat berupa agen eksogen (seperti materi silika yang terinhalasi atau serabut benang yang tertanam).

4. Penyakit autoimun

Respons imun terhadap antigen dan jaringan tubuh sendiri yang berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan radang kronik, contohnya adalah penyakit arthritis rheumatoid atau sklerosis multipel.

5. Penyakit spesifik yang etiologinya tidak diketahui

Contohnya kolitis ulseratif (penyakit radang kronik usus)

6. Penyakit granulomatosa primer

Seperti penyakit Crohn, sarkoidosis, reaksi terhadap berilium.

Sedangkan pada radang kronik yang timbul dari radang akut, progresi (perkembangan) dari radang akut atau kegagalan resolusi (perbaikan) adalah hal yang memicu terjadinya radang kronik. Jenis radang akut yang paling sering berkembang menjadi radang kronik adalah radang akut supuratif. Pus yang membentuk rongga abses serta pembuangannya yang tidak lancar (bisa juga disertai dengan penebalan dinding abses) akan menyebabkan organisasi pus sehingga tumbuh jaringan granulasi yang pada akhirnya digantikan oleh jaringan parut fibrosa.

Pembentukan radang kronik dari radang akut bisa juga disebabkan oleh adanya materi-materi asing yang tidak tercerna (resisten) selama  radang akut. Contohnya adalah keratin dari kista epidermal yang sobek atau potongan kecil tulang yang terdapat di dalam sekestrasi osteomyelitis. Benda asing ini akan menimbulkan reaksi radang kronik yang spesifik yaitu radang granulomatosa dan menyebabkan terbentuknya sel datia yaitu sel berinti banyak yang terbentuk dari makrofag.



Gambaran makroskopik radang kronik

Gambaran makroskopik umum yang sering ditemukan pada radang kronik adalah:

   1. Ulkus kronik, yaitu ulkus yang dasarnya dibatasi oleh jaringan granulasi dan fibrosa, contohnya pada ulkus peptik kronik lambung dengan luka pada mukosa.
   2. Rongga abses kronik, yaitu rongga yang terbentuk oleh pus pada radang supuratif. Contohnya osteomyelitis.
   3. Penebalan dinding rongga viskus, contohnya penebalan dinding pada kolesistitis kronik. Penebalan biasanya bersamaan dengan infiltrat sel radang kronik.
   4. Radang granulomatosa, yaitu kumpulan histiosit epiteloid sebagai akibat tidak dapat dihancurkannya substansi tertentu oleh makrofag. Contohnya pada penyakit tuberkolosis paru.
   5. Fibrosis, yaitu proliferasi jaringan fibroblas setelah sel-sel radang kronik menghilang/mereda.



Gambaran mikroskopik radang kronik

Pada radang kronik dapat ditemukan gambaran mikroskopik sebagai berikut. Infiltrat seluler terdiri dari limfosit, sel plasma dan makrofag. Beberapa eosinofil polimorf mungkin dapat ditemukan, tetapi neutrofil polimorf (yang lazimnya terdapat pada radang akut) jarang ditemukan. Beberapa makrofag dapat membentuk sel datia berinti banyak. Cairan eksudat sedikit ditemukan, tetapi mungkin ditemukan produksi jaringan ikat baru yang berasal dari jaringan granulasi. Mungkin juga ditemukan kejadian perusakan jaringan yang berkelanjutan, yang bersamaan dengan proses regenerasi dan perbaikan jaringan. Nekrosis jaringan mungkin merupakan gambaran yang mencolok, terutama pada keadaan granulomatosa seperti tuberkulosis.



Makrofag pada radang kronik

Makrofag merupakan sel yang relatif besar dengan diameter sekitar 30μm, bergerak dengan cara ameboid, memberikan respons terhadap rangsangan kemotaksis tertentu (sitokin dan kompleks antigen-antibodi) dan mempunyai kemampuan fagositik untuk mencerna mikroorganisme dan sel debris. Bila dibandingkan dengan neutrofil, makrofag memiliki jangka waktu hidup yang lebih lama dan kemampuan mencerna material yang lebih banyak jenisnya. Selain itu, makrofag dapat membatasi organisme (agen asing) yang hidup andaikata tidak mampu membunuhnya dengan enzim lisosom, contohnya adalah pada Mikobakterum tuberkulosis dan Mikobakterium lepra. Apabila makrofag kemudian ikut serta dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap organisme tersebut, makrofag sering mengalami kematian dan melepaskan enzim lisosomnya sehingga menyebabkan nekrosis yang meluas.

Makrofag pada jaringan yang mengalami radang berasal dari monosit darah yang telah bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan mengalami perubahan (aktivasi) di dalam jaringan. Karena itu makrofag merupakan bagian dari sistem fagosit mononuklear. Pada jaringan ikat makrofag tersebar secara difus, sedangkan di organ dijumpai makrofag yang khas seperti sel Kupffer (hati), sel mikroglia (otak) atau makrofag alveolus (paru).

Aktivasi makrofag saat bermigrasi ke daerah yang mengalami peradangan diperlihatkan dalam bentuk ukurannya yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktivitas fagositik dan kandungan enzim lisosom yang dimilikinya. Aktivasi ini diinduksi oleh sinyal-sinyal, mencakup sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang tersensitisasi (IFN γ), endotoksin bakteri, berbagai mediator selama radang akut dan protein matriks ekstrasel seperti fibronektin.

Makrofag yang sudah teraktivasi (siap untuk menjalankan proses fagositosis) akan menghasilkan produk sebagai berikut:

    * Protease asam dan protease netral

Protase asam dan protease netral merupakan mediator kerusakan jaringan pada peradangan.

    * Komponen komplemen dan faktor koagulasi

Makrofag teraktivasi dapat mengeluarkan komponen komplemen dan faktor koagulasi, meliputi protein komplemen C1-C5, properdin, faktor koagulasi V dan VIII dan faktor jaringan.

    * Spesies oksigen reaktif dan NO

Spesies oksigen reaktif berfungsi dalam proses fagositosis dan degradasi mikroba.

    * Metabolit asam arakhidonat

Metabolit asam arakhidonat seperti prostaglandin dan leukotrien merupakan mediator dalam proses peradangan.

    * Sitokin

Sitokin seperti IFN α dan β, IL 1, 6 dan 8, faktor nekrosis tumor (TNF α) serta berbagai faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos, fibroblas dan matriks ekstraselular.

Pada radang kronik, makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan. Limfosit teraktivasi akan mengeluarkan IFN- γ yang akan mengaktivasi makrofag. Makrofag teraktivasi, selain bekerja memfagositosis penyebab radang dan mengeluarkan mediator-mediator lain, juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi limfosit, sehingga dengan demikian akan membentuk suatu timbal balik antara makrofag dan limfosit, yang menyebabkan makrofag akan bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan terbentuknya fokus radang. Selain itu makrofag juga dapat berfusi menjadi sel besar berinti banyak disebut sel Datia.



Limfosit, sel plasma, eosinofil dan sel mast

Selain makrofag, pada peradangan kronik juga ditemukan limfosit, sel plasma, eosinofil dan sel mast.

Limfosit-T dan limfosit-B bermigrasi ke tempat radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin yang serupa dengan molekul yang merekrut monosit. Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik (infeksi) dan peradangan yang diperantarai nonimun (infark atau trauma jaringan). Telah disebutkan di atas bahwa aktivasi limfosit memiliki hubungan dengan aktivasi makrofag, menyebabkan terjadinya fokus radang akibat proliferasi dan akumulasi makrofag di tempat cedera.

Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel limfosit-B yang mengalami diferensiasi akhir. Sel plasma dapat menghasilkan antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.

Eosinofil secara khusus dapat ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi parasit atau bagian reaksi imun yang diperantarai oleh IgE yang berkaitan khusus dengan alergi. Kedatangan eosinofi dikendalikan oleh molekul adhesi yang sama seperti yang digunakan oleh neutrofil dan juga kemokin eotaksin yang dihasilkan oleh sel leukosit atau sel epitel. Granula eosinofil mengandung suatu protein disebut MBP (major basic protein), yaitu suatu protein kationik bermuatan besar dan bersifat toksik terhadap bakteri.

Adapun sel mast merupakan sel yang tersebar luas dalam jaringan ikat dan dilengkapi oleh IgE terhadap antigen tertentu. Apabila terpajan dengan antigen tersebut, maka sel mast akan mengeluarkan histamin dan produk asam arakhidonat yang menyebabkan perubahan vaskular pada radang akut. Sel mast juga dapat mengelaborasi sitokin seperti TNF yang berperan pada respons kronik yang lebih besar.



Kerjasama seluler pada radang kronik

Infiltrat jaringan limfositik pada radang kronik meliputi dua jenis utama limfosit, yaitu limfosit-B dan limfosit-T. Limfosit-B, pada saat kontak dengan antigen, cepat berubah menjadi sel plasma, yang merupakan sel khusus yang sesuai untuk produksi antibodi. Sedangkan limfosit-T bertanggung jawab pada sel perantara imunitas. Pada saat kontak dengan antigen, limfosit-T memproduksi berbagai faktor pelarut yang disebut sitokin yang memiliki sejumlah aktivitas penting:

    * Pengumpulan makrofag ke dalam area

Telah diketahui bahwa makrofag dikumpulkan ke daerah lesi terutama dipengaruhi oleh faktor penghambat migrasi (migration inhibition factors = MIF) yang akan mengikat makrofag dalam jaringan. Faktor pengaktif makrofag (makrofag activation factors = MAF) merangsang makrofag memakan dan membunuh bakteri.

    * Produksi mediator radang

Limfosit-T memproduksi sejumlah mediator radang, termasuk sitokin, faktor kemotaksis untuk neutrofil, dan faktor lain yang meningkatkan permeabilitas vaskuler.

    * Pengumpulan limfosit lain

Interleukin merangsang limfosit lain untuk membelah dan memberikan kemampuan membentuk sel perantara respons imun terhadap berbagai antigen. Limfosit-T juga bekerja sama dengan limfosit-B membantunya untuk mengenali antigen.

    * Destruksi sel target

Faktor-faktor seperti perforin diproduksi untuk menghancurkan sel lain melalui perusakan membran selnya.

    * Produksi interferon

Interferon γ, diproduksi oleh sel-T teraktivasi, mempunyai sifat antivirus dan pada saat tertentu mengaktifkan makrofag. Interferon α dan β, diproduksi oleh makrofag dan fibroblas, yang mempunyai sifat antivirus dan sel pembunuh alami yang aktif (activate natural killer cells = NK cells) dan makrofag.


Referensi

   1. Kumar V, Cotran R, Robbins S. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 56-63.
   2. Underwood JC. Patologi Umum dan Sistematik Vol 1. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1999. p. 247-54.